ALIH BAHASA/TRANSLATE

Minggu, 19 Juli 2020

ANCAMAN TERHADAP PELAKU RIBA

loading...
Mau Tau Bagaimana Ancaman Terhadap Orang Yang Melakukan Riba...?

عن عبد الله بن حنظلة رضي الله عنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
اَلرِّبَا اِثْنَانِ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَدْنَاهَا مِثْلُ إِتْيَانِ الرَّجُلِ أُمَّهُ

Dari Abdullah bin Handolah rodhiAllahu anhu berkata, bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam:
"Riba itu memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringannya adalah seperti seseorang mendatangi (menggauli) ibunya." (Shahih dengan semua jalannya, diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Awsath ).

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberinya, dua saksinya dan penulisnya. Beliau juga bersabda, “Mereka sama (dosanya).”

Pelajaran yang terdapat di dalam hadits :

1. Riba secara bahasa artinya bertambah. Sedangkan secara syara’ adalah penambahan pada ra'sul maal (harta pokok) sedikit atau banyak. 

2.  Riba bisa juga diartikan dengan kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai barang yang diterima.

3. Riba terbagi dua; Riba Nasii’ah dan Riba Fadhl.
a) Riba Nasii'ah artinya tambahan yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman dari si peminjam sebagai ganti dari penundaan.

b) Riba Fadhl artinya terjadinya kelebihan di salah satu barang pada barang-barang yang terkena hukum riba (ribawi), yakni menjual uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan adanya kelebihan.
Di dalam hadits disebutkan lebih jelas pengharaman riba pada enam barang; emas, perak, bur/gandum, sya’ir, kurma dan garam. Jika barang-barang ini dijual dengan barang yang sejenis, diharamkan adanya kelebihan di antara keduanya. 

4. Ancaman pelaku riba sangat berat, paling ringan saja seperti menzinai ibunya.

5. Rasûlullâh shallallah alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberinya, dua saksinya dan penulisnya. Beliau juga bersabda, “Mereka sama (dosanya).”

Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran

1. Di ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa orang yang bermu’amalah dengan riba tidak dapat bangkit dari kuburnya pada hari kebangkitan melainkan seperti berdirinya orang yang terkena penyakit ayan, hal ini disebabkan mereka memakan riba ketika di dunia.

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِييَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
.
 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Al Baqarah: 275)

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Pengharaman riba lebih keras daripada pengharaman maisir, yaitu judi.”
Bahkan memakan riba adalah sifat orang-orang Yahudi yang mendapatkan laknat.

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dan juga (disebabkan) mereka mengambil riba padahal mereka telah dilarang melakukannya, dan (disebabkan) mereka memakan harta orang dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya). Dan (ingatlah) Kami telah menyediakan bagi orang-orang yang kafir di antara mereka, azab seksa yang tidak terperi sakitnya.
[Surat An-Nisa' 161].

Semoga Bermanfaat.

Rabu, 15 Juli 2020

TIDUR DALAM KEADAAN JUNUB

loading...
Bolehkah Tidur  Dalam Keadaan Junub......??

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهْوَ جُنُبٌ قَالَ « نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ »

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangan ia dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Iya, jika salah seorang di antara kalian junub, hendaklah ia berwudhu lalu tidur.”
(HR. Bukhari no. 287 dan Muslim no. 306).

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist:

1. Ulama berkata bahwa disunnahkan bagi yang junub untuk berwudhu ketika hendak makan, minum, tidur ataupun ketika ingin mengulangi hubungan intim. Namun jika memilih untuk mandi, itu lebih sempurna. Jika tidak berwudhu, maka berarti meninggalkan yang lebih utama.

2. Untuk tidur, dimakruhkan untuk tidur dalam keadaan junub berdasarkan dalil ini. Karena orang yang tidur terlepas ruhnya sementara waktu. Ketika itu, ruh tersebut sujud di hadapan Allah. Sedangkan jika seseorang dalam keadaan junub, tidak bisa seperti itu. Jadinya, jika seseorang tidur dalam keadaan junub lantas junubnya tersebut tidak juga diperingan dengan wudhu, maka maksud ruh untuk sujud di sini tidaklah tercapai.

3. Begitu pula ada maslahat jika seseorang mandi terlebih dahulu untuk menghilangkan junub sebelum tidur. Ada maslahat badaniyah di sana, yaitu badan bertambah semangat dan ia pun ketika bangun tidur bertambah fit.

4. Jika tidak mandi, maka minimal berwudhu. Jika tidak berwudhu, maka badan akan mudah malas dan lemas. Ketika bangun tidur pun demikian, bahkan lebih bertambah malas.

5. Hadits di atas intinya menjelaskan tidak mengapa seseorang tidur dalam keadaan junub, namun disarankan berwudhu terlebih dahulu. Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam, hal. 87.

6. Namun hadits di atas masih menunjukkan bolehnya orang yang junub tidur walau tidak dengan wudhu. Ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangan ia dalam keadaan junub?” Beliau lantas menjawab, “Iya.” Ini menunjukkan bahwa wudhu tersebut hanyalah disunnahkan, bukanlah wajib. Karena jawaban Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat berarti boleh tidur dalam keadaan junub (walau tanpa wudhu).

7. Kami simpulkan keadaan orang yang junub sebelum tidur :

a). Junub lalu mandi sebelum tidur, ini lebih sempurna.

b). Junub dan wudhu terlebih dahulu sebelum tidur, ini yang disunnahkan untuk memperingan junub.

c). Junub dan tanpa wudhu, lalu tidur. Seperti ini masih dibolehkan.

Tema Hadist Yang Berkaitan Dengan Al Qur'an :

1. Islam adalah agama kebersihan.
Yang paling baik adalah menyegerakan mandi besar setelah berhubungan. Namun, dibolehkan bagi orang yang junub untuk menunda mandi besar sampai fajar. Hanya saja disunahkan kepada pasangan suami istri yang junub itu untuk melakukan wudhu sebelum tidur atau sebelum melakukan aktivitas lainnya.

 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

 "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."
[Al Baqoroh:222].

2. Yakni supaya kalian mensyukuri nikmat-nikmat-Nya atas kalian dalam hal-hal yang telah disyariatkan-Nya bagi kalian yaitu, bersuci.

وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur.
(Al-Maidah: 6)

Silahkan Di Bagikan dan Semoga Bermanfaat

Senin, 13 Juli 2020

JANGAN MENGELUH KEPADA MANUSIA

loading...


Sahabatku Sekalian........, Seberat apapun cobaan yang anda alami karena musibah wabah ini, janganlah mengeluh kepada manusia, terutama mengeluh di medsos.
Teladanilah Nabi Ya'qub 'alaihissalam, ketika beliau berkata:

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى الله

"Sesungguhnya aku keluhkan kesulitanku dan kesedihanku hanya kepada Allah"
(QS. Yusuf: 86).

Teladanilah para salaf kita, diantaranya Thawus bin Kaisan dan Imam Ahmad bin Hambal rahimahumallah,

أنه بلغه -وهو يئن في مرض موته- "عن طاووس: أن الملك يكتب حتى أنين المريض، فأمسك عن الأنين. وفي رواية: بلغه أَن طاووسا كره أَنِين الْمَرِيض، وَقَالَ: إنه شكوى، فَمَا أَنّ -أحمد- حَتَّى مَاتَ

"Bahwa ketika Imam Ahmad sakit menjelang wafatnya, beliau mengaduh-aduh. Thawus (bin Kaisan) menyampaikan kepadanya bahwa aduhan orang yang sakit itu pun ditulis Malaikat. Maka mendengar itu, Imam Ahmad pun berhenti mengaduh. Dalam riwayat lain, Imam Ahmad mendengar bahwa Thawus tidak menyukai aduhan orang sakit. Thawus mengatakan: "Aduhan orang sakit itu termasuk mengeluh". Maka Imam Ahmad sejak itu tidak pernah mengaduh lagi sampai beliau wafat"
(Masa'il Imam Ahmad).

Maka silakan menangis, mengeluh, merengek, mengaduh, mengemis, minta tolong kepada Allah ta'ala. Itulah perwujudan tauhid yang hakiki.

Syaikh Muhammad Sa'id Ruslan menjelaskan: "Mengadukan masalah kepada Allah merupakan bentuk perwujudan tauhid yang hakiki. Dan ia diantara tanda bahwa seorang hamba menggantungkan dirinya pada Dzat yang bisa memberikan kebahagiaan yang hakiki, dan memohon kepada Dzat yang paling hakiki bisa mengabulkan permohonan, dan meminta pertolongan kepada Dzat yang bisa memberikan pertolongan hakiki. Maka ini menunjukkan tulusnya hati dia untuk kembali kepada Allah dan menunjukkan kebenaran dari tauhidnya".

Adapun mengeluhkan musibah kepada manusia, sama saja mengadukan Allah kepada makhluk. Pantaskah itu?

Ibnul Qayyim rahimahullah bersya'ir :

وَإِذَا عَرَتْكَ بَلِيَّةٌ فَاصْبِرْ لَهَا ** صَبْرَ الْكَرِيمِ فَإِنَّهُ بِكَ أَعْلَمُ
وَإِذَا شَكَوْتَ إِلَى ابْنِ آدَمَ إِنَّمَا ** تَشْكُو الرَّحِيمَ إِلَى الَّذِي لَا يَرْحَمُ

Jika engkau tertimpa musibah, maka bersabarlah...
Dengan kesabaran yang mulia, karena Allah lebih tahu yang baik bagimu...
Jika engkau mengeluh kepada Bani Adam, sesungguhnya...
Engkau telah mengadukan Allah Ar Rahim kepada makhluk yang tidak bisa memberi rahmah...
(Madarijus Salikin, 2/160).

Dan orang yang mengeluh kepada makhluk, itu tanda bahwasanya ia tidak sabar. Padahal sabar itu wajib. As Sa'di rahimahullah bertutur:

الشكوى إلى الله لا تنافي الصبر، وإنما الذي ينافيه، الشكوى إلى المخلوقين

"Mengadu kepada Allah, tidak menafikan kesabaran. Yang menafikan kesabaran adalah mengeluh kepada makhluk"
(Tafsir As Sa'di, hal. 411).

Jadi, bersabarlah dan mintalah pertolongan Allah semata, jangan mengeluh di medsos!

Semoga Allah ta'ala memberi taufik.


Silahkan berbagi

Minggu, 12 Juli 2020

KEKELIRUAN DI BULAN DZULHIJJAH

loading...



Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh


Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan di antara 4 bulan yang dimuliakan.

AllahTa’ala berfirman (yang artinya),

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”
(QS. At Taubah : 36)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

“Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.”

(Tafsir Ibnu Katsir, 4/146)

Bulan Dzulhijjah adalah bulan penuh ibadah, terutama pada 10 hari yang pertama.

Oleh karena itu, pada edisi kali ini kami merasa perlu mengingatkan para pembaca sekalian terhadap kesalahan-kesalahan yang mungkin dan sering terjadi di bulan Dzulhijjah umumnya, dan pada 10 hari pertama Dzulhijjah khususnya.

Semoga kita terhindar dari berbuat kesalahan serupa sehingga bulan Dzulhijjah bisa menjadi salah satu ladang amal shalih kita.

KESALAHAN SEPUTAR 10 HARI PERTAMA DZULHIJJAH

1. Melewatkan Kesempatan Beramal Shalih Di 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya :

“Demi waktu fajr. Dan malam yang sepuluh.”
(Qs. Al-Fajr: 1-2).

Ibnu Katsir rahimahullahberkata,

“Malam yang sepuluh itu maksudnya adalah 10 hari di bulan Dzulhijjah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az Zubair, Mujahid, dan ulama lainnya dari kalangan salaf dan khalaf.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 8/392).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda,

“Tidak ada hari-hari yang diisi dengan amal shalih lebih dicintai oleh Allah daripada 10 hari ini (yaitu 10 pertama Dzulhijjah). Para shahabat bertanya, “Tidak juga jihad fii sabiilillaah?” Rasulullah bersabda, “Tidak juga jihad fii sabiilillaah, kecuali seorang yang keluar berjihad dengan membawa dirinya dan hartanya lalu tidak kembali lagi dengan sesuatu apapun (yakni mati syahid).”
(HR. At Tirmidzi. Syaikh Al Albany berkata : Shahih)

Maka sangat disayangkan jika hari-hari di bulan Dzulhijjah, menit demi menitnya berlalu begitu saja dengan sia-sia.

2. Tidak Memperbanyak Takbir, Tahmid, Dan Tahlil Di Awal Bulan Dzulhijjah

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa :

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sengaja keluar menuju pasar selama 10 hari pertama Dzulhijjah untuk bertakbir, sehingga orang-orang bertakbir karena mendengar takbirnya mereka berdua.
(Shahih Al Bukhari)

Ini merupakan sunnah yang sudah ditinggalkan banyak orang (baca :sunnah mahjuurah). Lebih parahnya, sebagian orang menganggap aneh hal yang demikian itu. Bahkan boleh jadi ada di antara mereka yang menganggap kurang waras orang-orang yang menghidupkan sunnah itu kembali. Wallahul musta’aan.

KESALAHAN SEPUTAR HARI 'ARAFAH

1. Tidak melakukan puasa pada hari ‘Arafah adalah sebuah kesalahan yang nyata bagi orang yang tidak sedang melaksanakan haji, sementara tidak Aida halangan yang membuat mereka tidak berpuasa.

Dari Abu Qatadahradhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaan puasa hari Arafah, beliau menjawab,“Aku berharap ia dapat menghapus dosa selama setahun yang sudah lewat dan setahun yang akan datang.”
(HR. Muslim)

Tanyakan kepada diri kita masing-masing, adakah puasa yang hanya satu hari namun mampu menghapus dosa-dosa selama dua tahun selain puasa hari Arafah ? Jika tidak, mengapa kita bisa mengabaikannya ?

2. Tidak memanfaatkan hari Arafah dengan memperbanyak do’a.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baik do’a adalah do’a di hari Arafah. Dan sebaik-baik do’a yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku adalah: “Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir.”
(HR. At Tirmidzi. Al Albany berkata : Shahih)

KESALAHAN SEPUTAR HARI RAYA IDHUL ADHA

1. idak Melaksanakan Shalat ‘Id Tanpa Udzur Yang Diterima Oleh Syari’at.

Sebagian mereka berdalih bahwa hukum shalat ‘id adalah hanya sunnah, yang apabila dikerjakan mendapat pahala, sedangkan jika tidak dikerjakan maka tidak berdosa.
Taruhlah hukumnya sunnah -tanpa meninjau perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat ‘id-, lalu mengapa yang menjadi perhatian adalah tidak mengerjakannya karena tidak berdosa, bukan malah ingin mendapatkan pahala dengan mengerjakannya? Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya? Semoga Allah memberi kita petunjuk.

2. Tidak Mengenakan Pakaian Yang Terbaik Yang Dimiliki.

Di sini mereka membedakan antara idul fitri dengan idul adh-ha. Idul fitri pakaiannya bagus-bagus, harum-harum, dan bersih-bersih, berbeda dengan Idul Adh-ha yang ala kadarnya saja.

Ini tidak sesuai dengan sunnah Nabi yang memerintahkan kita untuk berpakaian yang terbaik yang kita punya ketika kita akan melaksanakan shalat ‘id, baik Idul Fitri maupun Idul Adh-ha.

3. Mengkhususkan Idul Adh-ha Untuk Ziarah Ke Kuburan Orang Tua Atau Karib Kerabat Yang Sudah Meninggal.

Mereka berkeyakinan bahwa di hari raya orang-orang yang sudah meninggal tersebut berhak untuk diziarahi sebagaimana ketika mereka masih hidup di dunia.

Dengan demikian menjadi tradisi di setiap hari raya, ziarah ke kuburan orang tua atau kerabat atau bahkan yang tidak punya hubungan kekerabatan, namun karena kewalian atau keshalihan dari penghuni kuburan tersebut.

Ini juga sebuah tradisi yang diada-adakan dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnyaradhiyallahu ‘anhum ajma’iin.

KESALAHAN SEPUTAR QURBAN

1. Anggapan sebagian orang bahwa bagi yang ingin melaksanakan qurban maka harus meniatkannya sebelum masuk bulan Dzulhijjah. Jika tidak demikian, maka tidak dihukumi sebagai daging qurban, namun hanya daging sembelihan biasa.

Hal ini tidak benar. Yang benar, kapan saja di hari 10 pertama Dzulhijjah itu seseorang berniat untuk berqurban, maka saat itu juga ia menahan diri untuk tidak memotong kuku, rambut kepala maupun rambut anggota tubuhnya yang lain sampai ia menyembelih qurbannya.

Para ulama menjelaskan bahwa seandainya seseorang yang ingin berqurban baru meniatkannya setelah masuk bulan Dzulhijjah, lalu sebelumnya ia telah memotong kuku atau rambutnya, maka qurbannya tetap sah. Keharaman memotong kuku atau rambut dimulai sejak ia memasang niat qurban.

2. Anggapan sebagian orang, jika orang yang berqurban itu memotong kuku atau rambutnya sebelum qurbannya disembelih, maka qurbannya tidak sah dan tidak diterima.

Ini adalah suatu kekeliruan, karena tidak ada hubungannya antara menahan diri dari memotong kuku atau rambut dengan sahnya atau diterimanya sebuah qurban. Yang benar dalam masalah ini, jika dia melakukannya karena lupa atau tidak tahu, maka ia tidak berdosa. Jika ia sengaja melakukannya, maka ia berdosa namun tidak ada kafaratnya. Sedangkan qurbannya tetap sah dan insya Allah diterima oleh Allah Ta’ala.

3. Anggapan sebagian orang, bahwa jika yang melakukan qurban itu adalah seorang wanita, maka ia harus mengikat rambutnya, dan tidak boleh melepaskan ikatannya serta tidak boleh menyisirnya selama 10 hari tersebut sampai qurbannya disembelih.

Bahkan sebagian mereka, ada yang mengumpulkan rambut-rambut mereka yang rontok kemudian meletakkannya kembali di sela-sela rambut kepalanya. Ini tidak benar. Yang benar, boleh bagi wanita yang berqurban menyisir rambutnya dan tidak mengapa jika rambutnya rontok asal tidak menyengaja untuk merontokkan rambutnya.

4. Sebagian orang mengira bahwa “shahibul qurban” (si pemilik qurban) dilarang menggunakan minyak wangi, berdalih dengan qiyas menyerupai keadaan orang yang muhrim (orang yang sedang melakukan ihram, baik umrah atau haji).

Hal ini tidak benar ditinjau dari dua alasan :

➡ Mengada-adakan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syari’at sebagai sebuah syarat atau larangan dalam suatu ibadah. Dalam ibadah qurban, shahibul qurban hanya dilarang memotong kuku atau rambutnya saja, sedangkan selainnya tidak dilarang. Jadi boleh hukumnya orang yang berqurban itu menggunakan minyak wangi, pakaian yang bagus, dan lain-lain.
➡ Jika seandainya qiyas itu benar, maka orang yang berqurban juga dilarang terhadap hal- hal yang dilarang selama ihram selain minyak wangi, seperti memakai pakaian biasa, menutup kepala, berburu binatang darat, menikah dan menikahkan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan hal tersebut.

5. Sebagian orang mengira apabila shahibul qurban mengikutsertakan anggota keluarganya dalam seekor qurban, maka anggota keluarganya juga dilarang untuk memotong kuku dan rambut.

Ini tidak benar. Yang dilarang memotong kuku dan rambut adalah orang yang memiliki qurban tersebut saja.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing, sambil berkata :

“Ya Allah, ini qurban Muhammad, dan keluarga Muhammad, serta ummat Muhammad.”
(HR. Abu Dawud)

Nabi tidak pernah melarang anggota keluarganya untuk memotong kuku dan rambut kala itu. Ini menunjukkan bahwa yang dilarang memotong kuku dan rambut adalah hanya shahibul qurban saja.

6. Sebagian orang biasanya melakukan qurban atas nama salah satu anggota keluarganya yang sudah meninggal dan berkeyakinan tidak boleh mengikutsertakan anggota keluarga yang lain dalam qurban tersebut.

Ini adalah keyakinan yang keliru dan tidak berlandaskan dalil.

7. Sebagian orang beranggapan bahwa menyembelih qurban tidak boleh dilakukan pada malam hari, bahkan melarang dengan keras orang yang akan melakukannya.

Ini anggapan yang tidak benar. Waktu menyembelih qurban dimulai setelah shalat Idul Adh-ha dan berakhir sebelum terbenamnya matahari pada hari tasyrik yang terakhir (13 Dzulhijjah). Sama saja hukumnya baik dilakukan pada siang hari atau malam hari sekalipun.

Penutup

Demikianlah penjelasan singkat tentang kesalahan-kesalahan di bulan Dzulhijjah.

Mengetahui dan menyadari sebuah kesalahan bukan dalam rangka untuk melakukannya atau mempertahankannya, namun agar terhindar darinya dan tidak terjatuh kembali ke dalamnya.

Penulis : Ustadz Abu Yazid Nurdin